Sebagai penggantinya mereka cukup membuat Tumpeng, bentuknya adalah segitiga, shiwa-vishnu-Brahma. Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta
lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Itulah sebabnya disebut “nasi tumpeng”.
Olahan nasi yang dipakai, umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga
digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa
atau masyarakat Betawi keturunan Jawa, dan biasanya dibuat pada saat kenduri
atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia
mengenal kegiatan ini secara umum. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah
(wadah tradisional) dan dialasi daun pisang.
“Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam
agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan”.
(HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya).
(HR Abu dawud , an-Nasa’i, Ahmad).
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya
setan itu musuh yang nyata bagimu”. Qs. Al-Baqarah:208).
Acara
yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai “tumpengan”. Di
Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi “tumpengan” pada malam sebelum tanggal
17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan
negara. Ada tradisi tidak tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut
tumpeng dihidangkan bagi orang yang profesinya tertinggi dari orang-orang yang
hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut.
Ada
beberapa macam tumpeng ini, di antaranya sebagai berikut.
1.
Tumpeng Robyong. Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam
pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai
sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang
merah dan cabai.
2.
Tumpeng Nujuh Bulan. Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan,
dan terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini
juga dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas
tampah yang dialasi daun pisang.
3.
Tumpeng Pungkur. Digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang
masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran.
Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
4.
Tumpeng Putih. Warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat
Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
5.
Tumpeng Nasi Kuning. Warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur.
Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan,
tunangan, dan sebagainya.
6.
Tumpeng Nasi Uduk. Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan
Maulud Nabi.
Dari
situ dapat kita ketahui bila tumpeng dibuat dalam rangka acara-acara atau
ritual-ritual di atas, maka Islam tidak membenarkannya. Namun kalau sekedar
membuat tumpeng sebagai seni memasak tanpa disertai acara dan ritual tersebut,
maka tidaklah mengapa.
Konsep
dalam agama hindu: dalam kitab Manawa Dharma Sasra Wedha Smrti, Bagi Orang yang
Berkasta Sudra (Kasta yang Rendah) yang Tidak Bisa Membaca Kalimat Persaksian:
Hom
Suwastiasu Hom Awi Knamastu Ekam Eva Adityam Brahman, Bagi yang Tidak Bisa
Mengucapkan Kalimat dalam Bahasa Sansekerta di atas Sebagai Penggantinya Mereka
Cukup Membuat Tumpeng, Bentuknya adalah Segitiga, Segitiga yang dimaksud adalah
Trimurti (Shiwa, Vishnu, Brahma = Brahman) Artinya Tiga Manifestasi Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, Umat Hindgu Mengatakan Barangsiapa yang Membuat Tumpeng maka
Dia Sudah Beragama Hindhu.
Dikitab
BAGHAWAGHITA di jelaskan TUHAN nya orang hindu lagi minum dan ditengahnya ada
tumpeng, dan di depan dewa brahma ada sajen-sajen.
Islam
adalah agama yang sempurna, tidak perlu lagi ditambah-tambahi dengan syari'at
baru, bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewasiatkan kpd kita agar
menjauhi bid'ah dalam sabdanya:
“Sesungguhnya
sebaik baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
muhammad sholullah alaihi wasalam, sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu
sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”
Dari
Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad
2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan
bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. Qs. Al-Baqarah:208).