Pekanbaru I ---Sebagai generasi penerus bangsa, kita wajib menjaga kelestarian cagar budaya warisan nenek moyang kita. Bagi yang berusaha merusak apalagi menghilangkan identitas dan sejarah cagar budaya tersebut wajib dihukum seberat-beratnya. Hal itu merupakan konsekuensi yang sama-sama diterima oleh siapapun yang ada di bumi Melayu Riau ini.
Apalah jadinya jika salah satu situs peninggalan sejarah di Kota Pekanbaru dirubah bahkan dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab atas nama revitalisasi ataupun nama lainnya. Persoalan modernisasi atau kemajuan zaman bukanlah ukuran sehingga tega menghilangkan dan menghancurkan peninggalan sejarah terutama pada Masjid Raya Pekanbaru.
Seperti yang diketahui, kondisi Masjid Raya Pekanbaru yang berada di Kecamatan Senapelan tidak diperlakukan lagi sebagaimana mestinya. Atas nama Revitalisasi atau bahasa halusnya rehabilitasi, Masjid Raya malah dirubah.
Sudahlah dirubah bentuknya, kondisi bangunan Masjid Raya pun tak menjelaskan bahwa ada sebuah sejarah besar di lokasi itu yang merupakan cikal bakal Kota Pekanbaru. Kondisinya saat ini pun dalam keadaan terbengkalai.
Seperti keterangan yang dikutip PR dari Dendi Setiawan, sebenarnya Masjid Raya Pekanbaru telah ditetapkan sebagai cagar budaya atau kawasan yang dilindungi UU No.11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, berdasarkan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.13/PW.007/MKP/2014 tanggal 3 Maret 2014 lalu.
Menurutnya, Masjid Raya merupakan Masjid tertua di Pekanbaru yang kental dengan arsitektur tradisional Melayu. Masjid tersebut dibangun Abad 18 pada masa Pemerintahan Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah, sebagai Sultan keempat dan kelima dari Kerajaan Siak Sriindrapura. Di kawasan Masjid Raya itu juga terdapat makam Sultan Marhum Bukit atau Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah yang memerintah sebagai Sultan Siak keempat tahun 1766 hingga 1780. Sedangkan Marhum Bukit sekitar tahun 1775 yang memindahkan Ibukota Kerajaan dari Mempura Siak ke Senapelan.
Dikatakan Dendi Setiawan lagi, pihaknya telah mengirimkan surat ke DPRD Riau agar masalah ini dapat dibahas dalam hearing komisi. Selain itu, penganggarannya pun ada dalam APBD Propinsi Riau tahun 2015 dan tahun-tahun sebelumnya.
Masih dalam kutipan media terbitan Riau, Ketua Komisi C DPRD Riau, Aherson yang membidangi aset mengatakan bahwa sebaiknya hal itu dipastikan dahulu apakah pemugaran sudah berdasarkan izin pihak terkait. Kalau sudah ada izin Pemerintah terkait merubah bentuk Masjid tersebut berarti masih bisa dilakukan, katanya.
Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2010, dalam revitalisasi yang dilaksanakan harus melalui studi kelayakan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian harus memperhatikan etika pelestarian dan mempertahankan gaya arsitektur konstruksi asli, dan izin Menteri, Gubernur, Walikota dan sesuai tingkatannya.
Ada Ornamen Salib Di Masjid Raya Pekanbaru
Sementara itu, kejanggalan pun muncul dari ornamen yang ada dalam Masjid. Dugaan adanya lambang mirip 'salib' ini dibenarkan oleh Ketua MUI Propinsi Riau, Prof.Dr Nazir Karim, MA. Dugaan lambang mirip salib ini sudah membuat heboh masyarakat Kota Pekanbaru yang masih dalam penyelidikan Komisi Fatwa MUI Riau.
"Itu yang sedang diselidiki Komisi Fatwa MUI Riau apakah lambang tersebut benar salib atau tidak. Kalau memang ada motif menumpangkan lambang salib di bangunan Masjid tentu sudah sangat menyalahi," kata Nazir Karim. Jika ada unsur kesengajaan, maka pihak MUI Riau meminta agar ornamen yang ada di plafon dinding atas Masjid Raya segera diganti.
Banyak pihak yang sangat menyesalkan sikap oknum-oknum yang berusaha merubah bentuk asli Masjid Raya Pekanbaru ini atas nama revitalisasi. Mungkin mereka adalah pihak-pihak luar yang sengaja ingin menghilangkan budaya dan peninggalan sejarah melayu. Berpura-pura pro Melayu atau mengaku Melayu namun berusaha menghancurkan peradaban Melayu secara perlahan. Selain mengejar proyeknya, mereka juga diduga memiliki misi untuk menghilangkan sejarah pada generasi muda Riau selanjutnya.
Sebagaimana dengan aturan hukum yang berlaku, ketentuan Pidana UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pada Pasal 105 terdapat ancaman bahwa setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.500.000.000 (Lima Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000 (Lima Miliar Rupiah).
Hal ini juga banyak mendapat respon warga melalui media sosial yang ada, misalnya Arthy Mustafa Noor yang meminta kepada aparat terkait untuk mengusut tuntas kasus penghancuran cagar budaya ini. Selain itu, Teja Ardiansyah juga menyebut bahwa ada penguasa yang terkesan memberi izin perusakan ini, semisal zaman Gubernur Rusli Zainal dan Walikota Herman Abdullah. Selanjutnya, Eka Wahyu Saputra menyebutkan bahwa penghancuran cagar budaya Melayu disebabkan tidak ada pemimpin Riau yang berjiwa Melayu sehingga tidak memiliki 'sense' terkait budaya Melayu.
Dalam penelusuran PR di lapangan, banyak masyarakat yang meminta agar seluruh oknum yang terkait pemugaran Masjid Raya Pekanbaru ini diperiksa satu per satu. Alasannya agar tampak benang merah dimana letak akar permasalahannya. Selain itu, anggaran pemugaran kompleks Masjid Raya juga mesti diaudit karena selain menghancurkan bentuk aslinya, diduga menjadi ajang 'cari makan' bagi oknum-oknum tertentu. Publik Riau berharap agar hal ini harus segera ada kejelasan sebelum muncul persoalan baru di kemudian hari. (beni/aris/ismail/pr)