Pernahkan membayangkan berapa jumlah makhluk bersel tunggal yang hidup di muka bumi ini? Buanyak banget pastinya, manusia saja jumlahnya bisa mencapai 2 miliar jiwa lebih. Kebanyakan mikroba masih menjadi misteri, tidak pernah atau amat sangat jarang kita perhatikan, bahkan diberi nama pun tidak. Namun banyak pula yang sudah kita kenal dan ternyata memiliki kemampuan yang sangat mengagumkan, sangat cerdas, tidak kalah dari makhluk lain yang multisel.
Dari sisi fisik, beberapa mikroorganisme memiliki kekuatan yang mengagumkan, ada yang bisa berhibernasi selama ratusan ribu tahun (lihat lagi artikel ini), ada yang bisa ‘happy’ hidup dalam lingkungan yang sangat ekstrim dimana makhluk hidup lain bisa hancur dalam sekejap.
Beberapa bakteri dan protist (sejenis mikroorganisme eukaryotik) juga menunjukkan tingkah laku yang bisa dibilang cerdas, namun tentu saja kecerdasan ini bukan karena mereka punya otak, makhluk bersel tunggal tentu tidak akan memiliki sistem syaraf, apalagi otak. Para ilmuwan menjelaskan bahwa mereka merupakan “komputer biologis” dengan mesin internal yang dapat memproses informasi. Seperti apa saja sih kecerdasan mikroorganisme tersebut?
Berkomunikasi
Siapa bilang mikroorganisme tak bisa bicara? Bakteri mampu berkomunikasi dengan sesamanya melalui bahasa mereka yaitu sejenis bahan kimia tertentu. Mereka berkomunikasi untuk alasan-alasan tertentu yang kadang sulit dimengerti kecuali kalau kita adalah bakteri sebangsa mereka juga atau seorang bekteriologis sejati. Contoh paling gamblang bisa kita temukan pada bakteri bernama Bacillus subtilis.
Ketika individu-individu B. subtilis tumbuh pada suatu tempat yang miskin makanan, mereka akan melepaskan bahan kimia tertentu ke lingkungan sekitarnya. Seolah-olah mereka berkata kepada tetangganya: “Wooi… Makanan di sini cuma sedikit, jadi kita atasi bersama atau kita semua akan kelaparan.”
Pesan kimiawi ini kemudian akan direspon oleh bakteri lain dengan mengubah bentuk koloni mereka.
Mengambil Keputusan
Beberapa organisme bersel tunggal dapat menentukan berapa jumlah bakteri lain yang masih satu spesies yang ada di sekitar mereka, kemampuan ini dikenal dengan nama “quorum sensing“.
Pada prinsipnya, setiap individu bakteri melepaskan sejumlah kecil senyawa kimia tertentu ke lingkungannya, senyawa ini dapat dideteksi oleh reseptor yang ada pada dinding luar mereka. Nah, jika jumlah bakteri yang berada di situ banyak, dan masing-masing melepaskan senyawa kimia yang sama, tentu akan ketahuan dong apakah jumlah mereka sedikit atau banyak. Dan ketika jumlah senyawa kimia tadi mencapai jumlah tertentu, maka ini dapat memicu terjadinya perubahan perilaku bakteri tersebut.
Pada bakteri patogen (yang dapat menyebabkan penyakit), quorum sensing sering digunakan untuk memutuskan kapan mereka akan menyerang inang (host) mereka. Saat jumlahnya masih sedikit, mereka tidak berani menyerang, namun setelah mereka merasa cukup memiliki amunisi, maka serangan pun dimulai, senjata yang bisa melemahkan sistem imun pun diluncurkan sehingga menimbulkan penyakit bagi sang inang. Strategi yang sangat cerdas untuk organisme sekelas bakteri.
Perusakan signal quorum sensing merupakan salah satu cara untuk mencegah bakteri patogen agar tidak menyerang.
(Baca juga artikel-artikel kami mengenai quorum sensing)
Hidup Bermasyarakat
Selain bisa berbicara dan bekerja sama, bakteri pun bisa membentuk masyarakat dalam bentuk biofilm. Coba periksa bagian dalam pipa air, biasanya terdapat lapisan tipis seperti lumpur, itu adalah biofilm. Tempat lain yang sering ditemukan biofilm yaitu pada tempat perlindungan biologis, seperti pada lapisan dalam sistem pencernaan manusia. Dengan kata lain mereka ditemukan pada tempat yang banyak airnya.
Beberapa spesies yang berbeda bisa hidup berdampingan dalam “kota bakteri”, mereka saling memakan kotoran spesies lain, bekerja sama mengeksploitasi sumber makanan, dan bahkan saling melindungi dari serangan luar semacam antibiotik.
Mempercepat Mutasi
Beberapa mikroorganisme bisa mempercepat mutasi genetiknya sendiri. Hal ini biasanya dilakukan ketika mikroorganisme tersebut dihadapkan pada kondisi lingkungan yang semakin tidak bersahabat. Sebetulnya pilihan ini amat berisiko, jika tidak bermutasi sudah barang tentu mereka tidak akan bertahan hidup, jika bermutasi pun belum tentu berhasil. Bisa jadi mutasi tersebut malah membahayakan mereka sendiri. Jadi strategi mutasi ini merupakan jalan terakhir ketika tak ada pilihan lain.
Contoh mikroorganisme berikut ini sudah diteliti dan mampu melakukan strategi mempercepat mutasi: Escherichia coli bermutasi lebih cepat jika berada dalam kondisi stress (Science, DOI: 10.1126/science.1082240), dan yeast juga terbukti melakukan trik yang sama (Critical Reviews in Biochemistry and Molecular Biology, DOI: 10.1080/10409230701507773).
Navigasi
Kita tahu binatang-binatang tingkat tinggi memiliki kemampuan navigasi yang sangat baik, misalnya burung-burung atau ikan yang bermigrasi dari satu belahan bumi ke belahan bumi lain dan kembali dengan selamat. Nah, mikroorganisme pun ternyata memiliki kemampuan navigasi yang baik.
Sejenis alga bersel tunggal yang bernama Chlamydomona mampu berenang menuju cahaya, tapi hanya menuju cahaya yang memiliki panjang gelombang yang sesuai untuk fotosintesis mereka.
Beberapa bakteri pun seperti itu, mereka bisa bergerak sesuai dengan keberadaan bahan kimia dalam lingkungan mereka –perilaku ini dinamakan chemotaxis. Lagi-lagi contohnya E. coli, ia mampu bergerak seperti hiu mengejar bau darah jika mendeteksi adanya sedikit makanan yang masuk ke lingkungan mereka.
Bahkan, ada beberapa kelompok bakteri yang bisa mensejajarkan diri mereka dengan arah medan magnet bumi, sehingga mereka menghadap utara atau selatan (Science, DOI: 10.1126/science.170679). Bakteri semacam ini dinamakan magnetotactic bacteria, mereka mempunyai organel khusus yang mengandung kristal-kristal magnetik.
Namun yang paling keren adalah jamur lumpur Physarum polycephalum , koloni organisme ini selalu bisa menemukan rute tersingkat di antara alternatif jalan yang berliku-liku.
Belajar dan Mengingat
Saat amuba Dictyostelium mencari permukaan cawan Petri untuk mencari makan, maka ia melakukan banyak gerakan berbelok, namun gerakan ini tidak bersifat acak.
Jika ia baru saja belok kanan, maka gerakan berikutnya kemungkinan besar adalah belok kiri, dan sebaliknya. Dengan kata lain, ia bisa mengingat berbelok ke manakah ia sebelumnya. Kemampuan ini pun dimiliki sel sperma manusia.
Contoh yang lebih baik yaitu E. coli. Bakteri ini menghabiskan bagian dari siklus hidupnya berjalan di dalam sistem pencernaan manusia dan menghadapi kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Dalam rangkaian petualangannya, E. coli menemui gula laktosa sebelum ia menemukan gula lainnya, maltosa. Ketika pertama menemukan laktosa, E. coli mengaktifkan mesin biokimiawi yang dapat mencernanya. Namun saat bersamaan, ia juga mengaktifkan sebagian mesin untuk maltosa, sehingga ketika kemudian ia bertemu maltosa sistem percernaanya akan sudah siap.
Untuk membuktikan bahwa ‘memori’ ini bukan suatu kebetulan, para ilmuwan menumbuhkan E. coli selama beberapa bulan pada lingkungan laktosa tetapi tanpa maltosa. Mereka menemukan bahwa E. coli perlahan-lahan mengubah perilakunya sehingga mereka tidak lagi mengaktifkan sistem pencernaan untuk maltosa. (Nature, DOI: 10.1038/nature08112).
Kecerdasan perilaku mikroorganisme di atas mungkin baru permukaannya saja yang sudah kita ketahui, namun tentunya masih banyak perilaku luar biasa lain yang perlu digali untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, dan bukan tidak mungkin perilaku ini dapat kita manfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia.