Media komunikasi alamiah yang dihasilkan banyak organisme, ternyata juga bisa berguna buat manusia. Malah terbukti, media tersebut merupakan tempat berseminya cinta antarmanusia.
Mungkin kita sering bertanya-tanya, kenapa sih semut kalau bertemu teman sesama semut akan berciuman dahulu? Atau, apa maksud pleky, anjing kampung kita itu, bila di sebuah lokasi tertentu akan mengencingi area tersebut? Tidak mungkin hanya iseng, kan?
Memang, semut dan pleky tidak sekadar iseng melakukan aktivitas tersebut. Semua itu merupakan bentuk komunikasi antarspesies jenis mereka. Semut-semut melakukan komunikasi dalam memberitakan berbagai hal; dari memberitahu lokasi makanan, ada bahaya, sampai mendeteksi anggota kelompoknya. Sedangkan dalam kasus pleky, dia menandai daerah kekuasaannya agar anjing-anjing lain tahu bahwa area tersebut adalah miliknya. Minimal memberitakan bahwa pleky was here!
Nah, semua aktivitas tersebut bisa dilakukan lewat sebuah senyawa kimia bernama feromon (pheromones, dari kata Yunani pherein yang berarti membawa atau mengemban). Dalam ensiklopedi Britannica, feromon didefinisikan sebagai senyawa kimia yang disekresikan (atau dihasilkan oleh kelenjar tertentu) dalam seekor organisme dalam kuantitas yang sangat kecil, lalu menyebabkan tanggapan khusus seekor organisme lain dari spesies yang sama. Tentu maksudnya, feromon yang diberikan oleh seekor semut pasti hanya dimengerti semut lain, bukan kumbang, lebah, atau kupu-kupu. Begitu juga dengan feromon yang dihasilkan air seni si Pleky, hanya bisa dibaui oleh teman-teman anjingnya.
Feromon banyak terdapat pada berbagai spesies serangga, hewan vertebrata, juga di beberapa jenis jamur, cendawan, dan alga. Bentuk real dari feromon merupakan bau tertentu yang biasanya terdapat pada urin hewan vertebrata, air liur serangga, atau serbuk yang dihasilkan organisme macam jamur dan kawan-kawan.
Ramah lingkungan
Begitu diandalkannya feromon sebagai media komunikasi antar-organisme tertentu itu, membuat para ahli kimia (yang menyelidiki asal-usul senyawa kimianya) dan banyak ahli biologi (yang meneliti tiap organismenya) penasaran dan terkagum-kagum. Coba, siapa yang tidak kagum. Tanpa harus berbicara, memberi kode isyarat, menulis, serta membaca pesan, para organisme tersebut bisa berkomunikasi. Hanya lewat bebauan atau aroma yang dihasilkan feromon tersebut.
Keunikan feromon ini belakangan malah bisa dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Tepatnya, saat diketahui bahwa feromon juga digunakan serangga dalam menandai pasangannya untuk selanjutnya melakukan pengembangbiakan. Jadi, serangga betina, dalam masa-masa tertentu, menyebarkan feromon ke serangga jantan, sebagai tanda bisa dimulainya musim kawin. Mungkin kalau di dunia kita, seperti menebar pesona atau memberi sign oke, untuk selanjutnya siap di-pdkt lalu dipacari, ya.
Lewat fenomena feromon sebagai daya tarik seksual, para ahli lalu membuat ramuan feromon sintetik yang digunakan untuk memberantas hama serangga. Asyiknya, ramuan tersebut tidak bersifat membunuh, tapi membatasi populasi serangga tersebut. Jadi para serangga jantan diumpan dengan feromon sintetik yang menghasilkan bau mirip feromon dari para betina.
Begitu terperangkap, serangga-serangga jantan tersebut disterilkan agar tidak bisa berkembang-biak, dan dilepaskan kembali supaya tetap bisa bergaul serta melakukan perkawinan. Artinya, serangga jantannya sudah dibuat mandul. Populasi serangga pun bisa dikontrol dan tidak sampai menjadi hama. Lebih ramah lingkungan, daripada menggunakan insektisida yang bisa jadi racun itu, kan?
Feromon manusia
Fenomena feromon sebagai bentuk komunikasi ini lama-lama mulai dicoba diterapkan dalam kehidupan manusia. Terutama sejak ditemukan bahwa feromon juga dihasilkan kelenjar dalam tubuh manusia. Dan yang penting, bisa mempengaruhi hormon-hormon dalam tubuh (terutama otak) manusia lainnya. Contoh paling mudah, ya, soal bau badan.
Lepas dari jenis bau badan menyengat hingga bikin orang lain menjauh, setiap manusia punya bau yang khas dan menjadi ciri dirinya. Oleh para ahli dianalogikan bahwa bau badan itu seperti sidik jari. Jadi, kita masing-masing punya bau yang unik dan sangat berbeda dengan manusia lainnya. Dengan demikian feromon yang dihasilkan manusia, di masa depan bisa jadi salah satu identitas diri.
Feromon pada manusia ternyata juga berfungsi sebagai daya tarik seksual. Para ahli kimia dari Huddinge University Hospital di Swedia malah mengklaim bahwa feromon juga punya andil dalam menghasilkan perasaan suka, naksir, cinta, bahkan gairah seksual seorang manusia pada manusia lainnya. Ini mereka buktikan saat melakukan penelitian terhadap reaksi otak 12 pasang cewek-cowok sehabis mencium bau senyawa sintetik mirip feromon. Bebauan tersebut langsung bereaksi terhadap hormon estrogen (pada cewek) dan hormon testoteron (cowok).
Jadi, ketertarikan manusia pada manusia lain, baik itu berupa hubungan cinta, gairah seksual, maupun dalam memilih teman, juga didasari pada feromon yang dihasilkan manusia.