Dahulu orang tua kita sering berpesan bahwa menjadi orang itu harus menerima keadaan sebagaimana mestinya (Nerima). Kita tidak boleh memiliki angan-angan besar (muluk-muluk) karena mereka pikir itu sebagai hal yang mustahil dan akan sia-sia saja. Mereka takut hal demikian akan membuat stress pikiran bahkan mungkin berakibat kegilaan. Pola pikir yang demikian ternyata malah banyak mendatangkan kesengsaraan hidup. Bagaimana tidak! Ada orang yang ingin maju malah dihalang-halangi, tentu yang demikian itu sangat menghambat sekali.
Denis Waitley mengatakan, “Dalam hidup ini ada dua pilihan : menerima keadaan hidup kita sebagaimana adanya atau menerima tanggung jawab untuk mengubah keadaan itu.” Opsi yang pertama banyak dianut oleh generasi terdahulu, mereka menjalani hidup sebagaimana adanya tanpa berani melakukan perubahan besar. Menurut mereka hal itu dilakukan demi memperoleh kenyamanan hidup. Nyaman yang seperti apa? Toh pada kenyataannya mereka hanya memperkuat daya tahan dalam menghadapi kondisi hidup yang terkadang menyengsarakan. Untuk opsi yang ke dua adalah bagi generasi sekarang yang memang menginginkan perubahan besar dalam hidupnya. Hanya saja opsi ini membutuhkan pribadi yang berani, bertanggung jawab, bermental baja, dan tahan banting.
Persoalan merubah hidup memang tak semudah membalik telapak tangan, tantangannya sangat besar, apalagi kita hidup di tengah budaya nerima yang masih kental. Sebagai contoh seorang yang dilahirkan dalam kondisi serba kekurangan, dari pada terus menambah daya tahan dalam kondisi tersebut, akan lebih bijaksana jika menambah daya juang guna mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera. Sudah sepantasnya orang miskin harus berupaya merubah hidupnya ke arah yang lebih baik, bukan malah bertahan atau menyalahkan kemiskinan tersebut. Orang miskin akan dianggap bersalah jika ia tidak mau bangkit melawan kemiskinannya itu.
Untuk melakukan perubahan hidup, yang pertama kali dibutuhkan adalah keyakinan bahwa diri kita mampu. Kemudian pelajari ilmu kesuksesan dari buku-buku positif, seminar, bertanya langsung pada orang yang sudah sukses, dan yang terpenting adalah bergabung dalam komunitas yang memiliki visi dan misi sama dengan kita. Hal ini bertujuan agar kita mengetahui track to run (cara tepat) dalam meraih kesuksesan secara benar. “Sukses itu mudah, kalau tahu ilmunya,” Widiarto, S.E., MBA. Langkah berikutnya adalah mempraktekkan ilmu yang sudah didapat, jangan dekati hal-hal yang sekiranya dapat merusak pola pikir, dan terus berjuang hingga mencapai tujuan.
Kembali lagi pada budaya nerima, orang-orang yang menganut paham ini secara langsung maupun tidak akan bereaksi offensive ketika mengetahui bahwa kita memiliki target hidup yang mereka anggap terlalu muluk. Mereka seolah merasa terpanggil untuk menyadarkan diri kita, karena menganggap apa yang sedang kita lakukan demi kemajuan hidup tersebut terlalu mengada-ada. Bisa jadi mereka adalah orang-orang terdekat kita, mereka orang-orang yang sangat kita sayangi. Maka berhati-hatilah! Jangan biarkan cita-cita kita tercuri oleh siapa pun, toh apa yang kita lakukan itu nantinya demi kebaikan mereka juga. Jadi dalam merubah hidup itu perlu memfokuskan target/tujuan yang jelas.
Di era globalisasi saat ini, kalau pun kita belum bisa menghapus, sebaiknya hal yang musti dilakukan adalah menerapkan budaya nerima tersebut dengan bijak atau seminimal mungkin. Nerima sama dengan berpangku tangan alias pasrah, tentu perilaku demikian sangat menghambat kemajuan seseorang untuk sukses. Jangan pernah menyerah dengan keadaan, berjuanglah! Yakinlah bahwa anda masih berpotensi meraih kesuksesan hidup. Terima kasih.